Apakah Anda tahu bahwa orang Jepang suka menggunakan masker? Bukan karena sedang berada di masa pandemi seperti saat ini saja, tanpa dipaksa dan diminta, masyarakat Jepang sudah melakukannya sejak lama. Masker seringkali menjadi bagian tak terpisahkan dari kelengkapan pakaian yang mereka kenakan bila beraktivitas di luar rumah.
Menurut Japan Hygiene Products Association, Jepang mengonsumsi rata-rata 2 milyar masker per-tahunnya. Dengan populasi 127 juta, berarti lebih dari 15 masker per-orang.
Di Jepang sendiri, ada istilah “mata berbicara sebanyak mulut”. Bisa jadi, istilah tersebut merupakan makna yang ditangkap dari kebiasaan masyarakat Jepang yang kerap mengenakan masker. Historis antara masyarakat Jepang dan masker ternyata bisa dilihat telah terjadi sejak berabad-abad yang lalu, jauh sebelum pandemi Covid-19 menyerang.
Pada umumnya, di luar pandemi, masker di Jepang banyak digunakan saat musim panas dan musim influenza. Namun, sebenarnya di luar itu pun, masker telah merasuk dalam banyak aspek kehidupan orang Jepang. Misalnya fungsinya dibuat beragam, mulai dari masker anti sinar ultraviolet, mencegah kacamata berkabut, atau masker untuk membuat wajah terlihat lebih ramping.
Di Jepang, bahkan juga ada istilah yang diberikan pada perempuan yang terlihat cantik jika mengenakan topeng, yakni “Masuku Bijin”.
Baca juga: 5 Kue Asli Indonesia yang Punya Sejarah & Nama Unik, Wajib Dicoba!
Orang-orang di Jepang memakai masker karena berbagai alasan. Sejak awal, masker telah digunakan untuk menjaga mulut dari hal-hal buruk, seperti serbuk bunga, debu dan kuman. Masker juga dipakai oleh orang-orang yang mengalami pilek dan punya penyakit menular lainnya agar mencegah penyakit itu menyebar ke orang lain.
Beberapa anak perempuan memakai masker saat harus keluar rumah tanpa riasan. Laki-laki dan perempuan sama-sama memakai masker untuk menutupi ruam atau jerawat yang tidak diinginkan di wajah.
Dan akhirnya, beberapa sudah jadi korban dari yang disebut sebagai “ketergantungan masker”: yakni orang-orang ini memakai masker setiap hari karena membuat mereka merasa aman dan tersembunyi dari mata orang lain.
Sejak zaman kuno, masyarakat Jepang sudah menutup mulut dan hidung mereka menggunakan kertas atau daun (Sakaki Sakral-Cleyera Jepang) untuk mencegah napas yang dianggap sebagai najis bagi mereka terhembus keluar. Hal ini erat kaitannya dengan ritual keagamaan yang banyak ditemui di kuil-kuil di penjuru Jepang, seperti di Kyoto dan Osaka.
Lalu, pada Zaman Edo (1603-1868 Masehi) praktik menggunakan masker sudah menjadi kebiasaan hampir mayoritas penduduk negeri. Selanjutnya sejarah modern masker dimulai pada Era Meiji (1868-1912). Pada awalnya, masker diproduksi untuk diimpor. Bagian luar berbahan kawat kuningan dilengkapi dengan filter, masker diperuntukkan bagi pekerja tambang, pabrik, dan konstruksi.
Kemudian pada 1879, salah satu masker produksi Jepang diiklankan untuk pertama kalinya melalui surat kabar. Secara perlahan bahan pembuatan masker bergeser, dari logam, hingga dari bahan seluloid. Pada saat itu harga masker sangat mahal, setara dengan 3.500 Yen saat ini.
Namun, peristiwa terpenting yang membuat masker menjadi barang mewah untuk menjadi produk sehari-hari adalah flu Spanyol, yang menewaskan puluhan juta di seluruh dunia antara tahun 1918 dan 1920. Di Jepang saja, kurang lebih 450.000 orang tewas.
Flu Spanyol yang bisa dengan mudah menular akhirnya diketahui. Dari situ masyarakat mulai memakai masker dalam menjalani kegiatan sehari-hari, karena dianggap menawarkan perlindungan dari virus itu. Poster edukasi seperti dengan kalimat peringatan “sembrono adalah mereka yang tidak memakai masker” mulai beredar.
Dengan begitu orang-orang terpacu untuk memakainya. Bagi mereka yang tidak mampu membeli masker, surat kabar mulai memberikan instruksi tentang cara membuatnya di rumah, seperti tutorial pembuatan masker online yang berkembang saat ini.
Mungkin masker tidak selalu sesuai untuk dipakai di mana pun. Misalnya, kebanyakan orang setuju jika memakai masker saat berbisnis, ke pernikahan atau pemakaman itu tidak baik. Hal ini karena menyembunyikan wajah kita dari lawan bicara sehingga membuatnya sulit untuk membaca ekspresi kita.
Sayangnya, bagi sebagian besar orang di Jepang, budaya atau peraturan masih menyulitkan mereka untuk mengambil cuti atau izin saat sedang tidak enak badan atau flu. Banyak orang dipaksa atau didorong untuk tetap bekerja.
Nah, oleh karena itu, kendati debu, polusi, dan penyakit yang ditularkan melalui udara ada di mana-mana, ada baiknya Anda juga bisa membiasakan untuk memakai masker ketika berada di luar ruangan atau ketika sedang sakit agar tidak menularkan penyakit kepada orang di sekitar. Tentunya juga dengan mengikuti tata krama yang ada pada budaya di mana Anda berada.